Gengsi Dong
Notasi Eko Budiyono
Guru Sekolah Dasar
Sepekan lalu, Lastono dilantik menjadi kepala desa (kades). Dia dilantik setelah berhasil mengalahkan rivalnya pada pemilihan kepala desa (pilkades) dua bulan lalu. Kebanggaan tersendiri bagi Lastono dan keluarganya. Terbayang sudah bagaimana riangnya perasaan Lastono. Rakyat jelata yang lugu dan 'ndeso' bisa memenangi pilkades dan dilantik menjadi kades.
Rasa syukur atas keberhasilannya ini, pak kades mengundang sahabat karibnya untuk sekedar makan malam. Bukan orang biasa, yang diajaknya adalah seorang bos besar yang sukses di perantauan. Wajar bos tersebut diajaknya makan malam, karena ikut andil dalam pendanaan pilkades waktu itu. Restoran mewah di salah satu kota, dipilihnya sebagai tempat pertemuan mereka. Pak kades benar-benar ingin menghormati sahabat yang mati-matian membantunya.
Di sisi lain pak kades bingung tak terkira. Dia membayangkan bagaimana nanti cara makan di resto yang mewah itu. Bayang-bayang itu menyiksa pikirannya kala malam tiba. Seolah tak mau mempermalukan diri di hadapan sahabatnya, pak kades menemui anaknya. Anaknya yang sudah beranjak dewasa dan terbiasa ke kota diajaknya bicara. Dia mengungkapkan maksud dan tujuannya hingga rasa kegelisahannya. Intinya, dia meminta saran kepada anaknya, bagaimana cara dan sikap makan yang benar di restoran mewah. Sang anak pun mengajari ayahnya. Pesan si anak, agar tidak memalukan, tirulah apa yang dilakukan si bos. Bapaknya mengangguk seolah mengerti apa yang disampaikan sang anak.
Tibalah saatnya mereka ketemu. Karena tak ingin terjadi sesuatu yang memalukan, pak kades mengajak anaknya ke restoran tersebut. Namun, si anak diminta duduk agak jauh dari mereka. Tujuannya agar sahabatnya leluasa untuk bercengkerama bersamanya sambil makan malam.
Pramusaji pun datang. Bos memesan makanan dan minuman yang asing terdengar di telinga pak kades. Tak mau mempermalukan diri, pak kades pun memesan makanan yang sama dengan sahabatnya itu. Tak lama menunggu, makanan telah di sajikan dan siap untuk dinikmati. Pak kades mempersilahkan sahabatnya untuk menikmati makanan tersebut. Makan pun dimulai. Bos minum jus, pak kades juga minum. Bos mulai mengambil nasi, pak kades pun mengambil nasi. Bahkan gerak gerik bos menggaruk tangan pun, pak kades menirukannya. Semua dilakukan pak kades sesuai dengan pesan sang anak. Intinya, apapun tingkah laku yang dilakukan bos, pak kades harus menirukannya. Alhamdulillah, makan malam selesai tanpa ada keganjilan. Sang anak terlihat plong setelah mengawasi ayahnya dari kejauhan yang tidak melakukan kesalahan sedikitpun.
Setelah dirasa cukup, mereka berbincang-bincang dan tak lama kemudian saling bersalaman. Makan malam dua sahabat usai. Si bos pulang bersama sopirnya yang menungguinya di mobil. Sedangkan, Pak kades pulang bersama anaknya yang menemani dari tadi.
Sepanjang perjalanan, pak kades ngobrol dengan anaknya.
"Kamu benar, Nak. Semua ayah ikuti apa saranmu."
"Alhamdulillah, saya juga memperhatikan ayah dari tadi kok. Ikut deg-degan tau, Yah. Takutnya ayah melakukan kesalahan."
"Ya enggak lah, kan sudah kamu kasih tau. Meski baru pertama kalinya ayah ke resto, tetep aja ayah punya harga diri dan tau apa yang harus ayah lakukan. Gini-gini juga pejabat loh," pak kades sedikit pasang mimik nyinyir dan menyombongkan diri.
"Siapa dulu? Pak kades Lastono gitu loh,"
"Tapi, ada sedikit yang aneh kok, Nak."
"Apa, Ayah?" Tanya anaknya yang seolah kaget.
"Setelah kami sama-sama selesai makan buah, sahabat ayah makan lagi yang diambilnya dari tempat kecil di atas meja. Cara makannya, mulut ditutup dengan tangan satunya."
"Lalu?" Anaknya penasaran.
"Sesuai pesan darimu, Ayah ikuti dia. Tapi rasanya kayak kayu. Di makan susah banget. Di telen juga seret. Bahkan di tenggorokan ayah ini masih terasa sakit. Kayak nusuk-nusuk gitu."
"Waduuuuhhh, itu tusuk gigi, Ayaaaah."
Pembelajaran hari ini:
Ini semua terjadi karena gengsi. Ternyata, gengsi itu membahayakan. Jangan sampai karena gengsi semua menjadi berantakan dan menyakitkan.
Jangan gengsi untuk diajari makan di resto. Tanyakan pada ahlinya. Jangan karena gengsi, malu bertanya dan mengikuti yang sudah biasa. Meski terlihat norak, mereka alan memakluminya. Toh, apapun yang dilakukan pertama kali sebelum kita pernah melakukannya pasti terlihat canggung dan norak. Kenapa harus gengsi?
Ayah jangan mengajari anak untuk gengsi. Karena anak bisa menjadi diktator.
Bos yang gengsi dan tidak mau mengakui kesalahannya terkadang mengorbankan anak buahnya hingga berujung pemecatan. Jelas ini sagat memilukan.
Lebih berbahaya lagi jika pemimpin gengsi mengaku salah kepada rakyatnya. Lebih memilih menghabiskan anggaran dengan membiarkan kebijakan yang salah berjalan terus karena takut dipermalukan dihadapan rakyatnya.
Abaikan rasa gengsi jika ingin maju. Hiduplah apa adanya dan bukan adanya apa. Bukankah akan semakin terpuruk jika Anda memelihara gengsi? (eb)
Berlangganan Artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar